Wacana merger bank syariah sebenarnya bukanlah hal yang baru, merujuk pada roadmap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2015-2019 telah mewacanakan beberapa hal seperti penguatan permodalan perbankan syariah, skala usaha dan efisiensi dengan pendirian bank syariah milik negara atau bank syariah milik daerah. arena mayoritas bank syariah di Indonesia masih beroperasi dengan modal kecil, mereka mengalami kesulitan dalam mengembangkan kegiatan bisnis dan bersaing dengan bank syariah lainnya di ASEAN, seperti CIMB Niaga dan Maybank Syariah, dalam menghadapi ASEAN Economic Community Integration (MEA). Artinya, merger bank syariah ini sudah diwacanakan bahkan sejak 2015 lalu.
Berkaitan dengan itu, baru-baru ini pembicaraan mengenai merger bank syariah mencuat kembali ke permukaan. Erick Thohir selaku Menteri BUMN menyatakan bahwa dewasa ini mereka sedang menggodok rencana penggabungan bank syariah ber-pelat merah dan kemungkinan akan direalisasikan pada Februari 2020 nanti. Bank syariah yang dimaksud adalah Mandiri Syariah, BRI Syariah dan BNI Syariah.
Terhadap rencana ini tentu saja ada tanggapan positif dan tanggapan negatif dari berbagai pihak. Sebagai kebijakan, tentu di dalamnya ada beberapa kelebihan dan kekurangan, pertanyaannya kemudian mana yang lebih manfaat?
Apa dan Mengapa Harus Merger?
Untuk mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhan, perusahaan dapat melakukan ekspansi secara internal maupun eksternal.
Secara internal, perusahaan dapat melakukan pengembangan dan inovasi produk, perluasan wilayah operasional, pembukaan cabang baru dan lain sebagainya. Sedangkan secara eksternal, perusahaan dapat melakukan strategi merger, akuisisi, atau konsolidasi dengan perusahaan lain.
Kegiatan merger dan akuisisi menjadi alternatif penting untuk ekspansi bisnis eksternal (Cartwright dan Schoenberg, 2006). Merger adalah gabungan dari dua atau lebih perusahaan, dimana perusahaan yang dihasilkan mempertahankan identitas satu perusahaan, biasanya lebih masif (Gitman dan Zutter, 2015) atau kombinasi dua perusahaan di mana hanya satu perusahaan yang bertahan sementara yang lain tidak lagi beroperasi. (Gaughan, 2007).
Konsolidasi berbeda dengan merger. Konsolidasi merupakan penggabungan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan baru (Gitman dan Zutter, 2015). Perbedaan antara konsolidasi dan merger terkait dengan perusahaan itu sendiri. Dalam konsolidasi, jika dua atau lebih perusahaan bergabung, maka akan terbentuk perusahaan baru. Di sisi lain, penggabungan antara dua atau lebih perusahaan akan membuat hanya ada satu perusahaan.
Praktek merger sendiri pernah dilakukan di Indonesia. Penggabungan empat bank BUMN di Indonesia pada tahun 1998 menjadi Bank Mandiri berhasil menjadi salah satu bank dengan aset paling signifikan di Indonesia. Tercatat dari tahun 2010 hingga akhir Desember 2016 terdapat 17 kegiatan merger dan akuisisi di sektor perbankan (KPPU, 2017). Kegiatan merger dan akuisisi dalam industri perbankan dapat mengintegrasikan semua sektor perbankan menjadi lebih kompetitif dan efisien (Shanmugam dan Neir, 2003).
Beberapa Manfaat Dari Merger
Secara umum melalui kegiatan merger dan akuisisi diharapkan perusahaan dapat melakukan beberapa keuntungan.
Pertama, menciptakan sinergi. Kedua, tingkatkan pangsa pasar. Ketiga, pertumbuhan atau diversifikasi produk. Keempat, meningkatkan pendapatan. Kelima, merger akan mengurangi biaya. Keenam, meningkatkan dana. Ketujuh, melindungi pasar dengan melemahkan atau menghilangkan saingan.
Kedelapan, dapatkan produk atau teknologinya. Kesembilan, pertimbangan pajak. Kesepuluh, perkuat bisnis inti dengan memperluas area yang paling kompetitif. Kesebelas, memperoleh posisi di negara atau benua lain dan mencapai masa kritis atau ukuran kompetitif
Dalam hal ini (Bohlin et al. (2000), DePamphilis (2011), dan Gitman dan Zutter (2015)). Hoberg dan Philipp (2010) menyatakan bahwa sinergi dalam produk merupakan salah satu pendorong penting dari merger.
Merger cenderung dilakukan pada perusahaan yang memiliki produk serupa dan dapat saling melengkapi. Selain itu, merger akan menciptakan nilai yang lebih tinggi jika dilakukan pada perusahaan yang menjadi pesaing di industri yang sama atau merger secara horizontal (Barnile, et al., 2011).
Beberapa Pendapat Tentang Merger Bank Syariah
Secara akademis Natt dkk. (2007) dalam Kandil dan Chowdury (2014) menyatakan bahwa merger dan akuisisi penting bagi bank syariah untuk tumbuh dengan cepat dan menguntungkan karena dapat menciptakan skala atau cakupan ekonomi sehingga perusahaan dapat memiliki akses yang lebih baik ke pasar modal kemudian menurunkan biaya modal sebagai keuntungan finansial. Oleh karena itu, menurut Kandil dan Chowdury (2014) ROI dan ROE atas merger dan akuisisi bank syariah lebih tinggi dibandingkan perbankan konvensional.
Lebih lanjut, Mahmood et al. (2012) dalam Kandil dan Chowdury (2014) dalam penelitiannya tentang bank syariah di Pakistan menunjukkan bukti yang signifikan bahwa tujuan utama sektor bisnis perbankan syariah dalam merger dan akuisisi adalah untuk memperbesar sinergi. Kegiatan merger dan akuisisi perbankan syariah dinilai lebih pada tataran makro ekonomi dibandingkan mikroekonomi.
Namun, Anwar Abbas Ketua PP Muhammadiyah berpendapat kurang setuju dengan hal ini. Alasannya adalah dengan merger maka ekspansi bank syariah akan cenderung menguntungkan pengusaha besar. Alhasil, pengusaha kecil dan menengah menjadi terabaikan.
Selanjutnya Piter Abdullah ketua Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) berpendapat bahwa upaya ini bagus, hanya saja perlu diselesaikan beberapa kendala sebelumnya. Hal penting yang harus diselesaikan oleh Bank Syariah adalah berkurangnya jumlah pemain bank syariah sehingga memicu adanya Monopoli.
Selain itu, penggabungan juga menimbulkan adanya gairah dan persaingan tidak kondusif. Ia kemudian tidak setuju dengan penggabungan bank syariah ini.
Sebaliknya Eny Sri Hartanti Peneliti INDEF menyatakan bahwa merger ini sudah selayaknya dilakukan sejak dahulu. Kemudian ia membenarkan inisiatif ini, hanya saja harus dilakukan dengan hati-hati dan dengan pertimbangan yang tepat.
Beberapa Dasar Pertimbangan
Total aset BSM hingga akhir tahun 2016 merupakan yang tertinggi dibandingkan BRIS dan BNIS sebesar Rp 78,83 triliun atau 21,56% dari total aset perbankan syariah nasional. Total aset BRIS sebesar Rp 27,69 triliun atau 7,57% dari total aset perbankan syariah nasional. Total aset BNIS senilai Rp 28,31 triliun atau 7,74% dari total aset perbankan syariah nasional. Jika ketiga bank tersebut digabung, maka total aset bank hasil merger menjadi Rp 134,83 triliun atau memiliki pangsa pasar 36,88% dari total aset perbankan syariah nasional.
Penggabungan tiga bank tersebut dapat memperkuat struktur permodalan mereka. Struktur permodalan yang kuat membuat bank mampu mengoptimalkan kegiatan usahanya.
Total ekuitas yang dimiliki BSM pada Desember 2016 lalu adalah Rp6,39 triliun yang dikategorikan BSM pada BUKU (Kelompok Usaha Bank Umum) 3, bank dengan modal minimal Rp5 triliun.
Sedangkan BRIS dan BNIS masuk dalam kategori BUKU 2 dengan total ekuitas masing-masing bank sebesar Rp2,51 triliun dan Rp2,47 triliun. Jika ketiga bank tersebut digabung, maka total modal yang dimiliki menjadi Rp 11,39 triliun, dan masih masuk dalam kategori BUKU 3. Jumlah modal tersebut tidak cukup untuk dikategorikan dalam BUKU 4 yang modal minimumnya Rp 30 triliun.
Untuk mencapai total modal Rp 30 triliun, dibutuhkan tambahan modal Rp 18,61 triliun. Jika penggabungan bank menjadi bank milik negara dan masuk dalam BUKU 4, Pemerintah harus memberikan setoran modal sekitar Rp 18,61 triliun. Dengan demikian, kepemilikan Pemerintah dalam merger bank akan berjumlah 62,1%.
Kesimpulan
Jika bank melakukan merger, potensi nilai pasar akan meningkat. Dengan bertambahnya permodalan maka semakin mudah bagi bank untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengembangkan kegiatan usahanya melalui pengembangan produk dan wilayah operasional untuk bersaing dengan perusahaan lain (Kartika dan Rofi, 2015).
Selanjutnya, total dana simpanan bank merger menjadi Rp 116,2 triliun atau 40,74% dari total simpanan perbankan syariah nasional. Selain itu, posisi pembiayaan yang diberikan (PYD) jika tiga bank digabung akan menjadi Rp 94,09 triliun atau setara dengan 36,94% dari total PYD perbankan syariah nasional.
Penilaian merupakan salah satu tahapan dalam proses due diligence, dimana pelaksanaan due diligence dilakukan sebelum transaksi merger dan akuisisi. Pelaksanaan uji tuntas melibatkan berbagai aspek, antara lain finansial, hukum, manusia dan operasional (Tan, 2015).
Penerapan due diligence yang tepat berarti menggali informasi langsung tentang perusahaan sasaran yang mencakup pelanggan, pesaing, biaya, dan kemampuan. Wawancara langsung dengan pelanggan dan pesaing harus melakukan aktivitas ini. Hasil dari kegiatan ini akan membantu beberapa informasi perusahaan.
Pertama, untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai ukuran dan laju pertumbuhan pasar perusahaan sasaran. Kedua, bagaimana posisi perusahaan sasaran di antara pesaing dalam pangsa pasar, pendapatan, dan laba di setiap segmen. Ketiga, semua aspek efisiensi biaya dan inisiatif pesaing. Keempat, kompetensi, kapabilitas, dan teknologi yang akan tersedia bagi perusahaan baru ketika telah digabungkan (secara anonim, 2004).
Lebih lanjut, menurut Denison & Ko (2016), untuk membantu organisasi atau perusahaan mengelola budaya mereka selama proses M&A, uji tuntas budaya sangat penting dilakukan pada tahap awal di samping penilaian keuangan dan strategis.
Hemat penulis, manfaat dari konsolidasi ini lebih besar dibandingkan dengan beberapa kekurangannya.